Jumat, 04 Desember 2015

Pola Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW


Nabi Muhammad saw merupakan utusan Allah yang benar-benar menjadi idaman setiap manusia, utusan Allah yang sempurna dan seimbang, yang cita-cita dan tindakannya merupakan perwujudan sifat-sifat Allah yang luhur. Sebagai utusan Allah yang terakhir dan terbesar kedatangan Muhammad telah diramalkan dan diberitahukan oleh para rasul sebelumnya, yakni tentang siapa kelak yang akan menerima wahyu terakhir dan yang tersempurna.

Berbicara tentang Nabi Muhammad saw tidak bisa dilepaskan dari tugas utama beliau sebagai seorang rasul penyampai risalah Tuhan dan tugasnya sebagai pemimpin panutan umat dengan memberikan pendidikan dan pengajaran tentang nilai-nilai Islam, sebagai bentuk dakwahnya.

Nabi Muhammad dalam menjalankan kepemimpinan menerapkan pola-pola kepemimpinan yang sangat dianjurkan oleh Islam. Pola-pola kepemimpinan yang dimaksud adalah :

1) Human relation (hubungan kemanusiaan)

Dalam menjalankan misi dakwah, Nabi Muhammad selalu mengedepankan kebijakan-kebijakan untuk dapat menjadikan teladan yang baik. Beliau sering melakukan silaturrhami dengan para sahabatnya, bukan hanya dalam sabda-sabdanya tetapi juga dalam perilaku kesahariannya.[1]

Muhammad saw telah memberikan pengaruh yang luar biasa pada kehidupan para pengikutnya. Kemampuan dan gaya mengatur dan memimpin para pengikutnya sungguh luar biasa. Para pengikutnya sangat mempercayainya, sebagai pemimpin yang selalu menjadi pembimbing dalam berbagai masalah.[2]

Kebesaran beliau terletak pada kesederhanaannya dan kemuliaannya terletak pada keramahannya. Predikat Rasul yang telah beliau sandang tidaklah menjadikannya sebagai orang yang sombong, hidup dalam kemewahan bergelimang harta, tetapi beliau lebih memilih hidup dalam kemiskinan dan kezuhudan. Beberapa catatan melukiskan bagaimana beliau dan keluarganya terutama putri tercintanya Fathimah, merasakan kelaparan hingga beliau sering mengikat perutnya dengan sebutir batu untuk menekan rasa lapar. Semua hak istimewa dan karunia yang Allah berikan padanya tidak membuat beliau untuk menyombongkan diri, beliau begitu sederhana dan tetap mengatakan “kemiskinan adalah kebanggaanku”. Ia lebih bersifat low profile, lebih suka berkumpul dengan orang-orang fakir miskin. Bahkan sebagai seorang pemimpin negara, beliau biasa mendatangi masyarakat lapisan bawah untuk silaturrahmi mempererat tali persaudaraan, sebagaimana beliau sendiri juga merupakan bagian dari masyarakat itu.[3] Bahkan pernah dalam suatu kisah Nabi sedang berkumpul dengan para sahabat unutuk memberikan ilmu pengetahuan. Tiba-tiba datang seorang yang buta menyela pembicaraan beliau. Beliau tidak mendengarkan orang itu hingga turunlah ayat sebagai peringatan dari Allah. Teguran illahi ini mendorongnya untuk lebih seimbang dalam berbuat baik terhadap setiap orang. Jika seorang datang dengan suatu permintaan, dia tidak akan disuruh pergi sebelum permintaannya dikabulkan, atau sebelum dia setidak-tidaknya menerima jawaban yang ramah. Keramahan dan pemberian Nabi Muhammad saw tertuju pada semua orang, dia bagaikan seorang ayah bagi para sahabatnya.[4]

Pelaksanaan pendidikan ukhuwah (persaudaraan), Nabi Muhammad saw. yang pertama dilakukan yakni mempersatukan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Untuk mempersatukan kelurga itu Nabi Muhammad saw. berusaha untuk mengikatnya menjadi satu kesatuan yang terpadu. Ikatan pertama yang menghubungkan antara hati mereka yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Beliau meyakinkan kepada mereka bahwa “umat yang beriman itu bersaudara, karena itu perbaikilah hubungan persaudaraan”.[5] Maka Nabi Muhammad saw. mengusahakan perbaikan sistem persaudaraan mereka yang semula sering berselisih, saling bunuh dan sebagainya. Antara orang-orang beriman satu sama lain harus saling bantu-membantu dalam menghadapi persoalan hidup, mereka harus bekerja sama dalam mendatangkan kebaikan, mengurus kepentingan bersama dan menolak kemudahan atau kejahatan yang menimpa. (QS. Al-Anbiya: 107).

Dasar pendidikan ukhuwah dalam Islam sebagai sarana silaturrahmi seperti sabda Nabi Muhammad saw.:

Dari anas r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga mencintai saudaranya (sesama) sebagaimana mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Muslim)[6]
Hadits di atas secara jelas menekankan kepada kita pentingnya hubungan kekeluargaan (persaudaraan) melalui jalinan silaturrahmi yang kita bangun.

2) Memelihara suasana dialogis.

Satu hal lagi yang menjadi pola kepemimpinan Nabi Muhammad saw. yang telah dipraktikkannya, yakni sikap Nabi yang selalu toleran terhadap siapapun. Di mana di dalamnya terdapat proses interaksi antara Nabi Muhammad saw. dengan ummatnya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam surat An-Nahl ayat 125, yaitu:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [١٦:١٢٥]

 “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(Q.S. An-Nahl: 125)[7]

Ayat ini menggambarkan bahwa para pemimpin harus senantiasa mengedepankan suasana dialogis dengan bersedia bertukar pikiran melalui cara yang lebih baik dengan orang-orang yang dipimpinnya. Sikap seperti ini sering Nabi Muhammad saw. Lakukan dalam kepemimpinannya. Suasana dialogis tersebut tumbuh dalam sebuah kepemimpinan demokratis dengan ciri berusaha menyinkronkan antara kepentingan dan tujuan, mengutamakan kerja sama dalam pencapaian tujuan, terbuka terhadap kritik, mau menerima saran dan pendapat orang lain. Sikap-sikap seperti itulah yang dilakukan Nabi Muhammad saw. ketika menerima kritik dan saran. Inipernah terjadi ketika ada peristiwa– seorang sahabat mengkritik tentang sistem pembagian harta ghanimah dari salah satu peperangan yang terjadi. Nabi mendengar kritik ini dengan lapang dada walaupun kritik itu tidak benar.[8]

Sikap terbuka terhadap kritik dan mendengar pendapat orang lain beliau tunjukkan dalam proses musyawarah yang menjadi ciri kepemimpinan beliau yang bersifat demokratis. Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad saw. Untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam urusan-urusan penting dalam memperhatikan pandangan mereka sebelum mengambil keputusan. Beliau memberikan teladan besar bagi para pengikutnya dan menciptakan semangat demokrasi serta kejujuran di kalangan mereka.

Sesuai petunjuk al-Qur’an Nabi Muhammad saw mengembangkan budaya musyawarah di kalangan para sahabat. Meskipun beliau seorang rasul tidak enggan beliau meminta pendapat dan berkonsultasi kepada para sahabat dalam masalah kemasyarakatan, tetapi dalam berkonsultasi Nabi Muhammad saw. tidak hanya mengikuti satu pola saja, sering kali beliau bermusyawarah hanya kepada beberapa senior saja. Tidak jarang pula beliau hanya meminta pertimbangan dariorang-orang yang ahli dalam hal yang dipersoalkan/profesional. Terkadang beliau melemparkan masalah- masalah kepada pertemuan yang lebih besar khususnya masalah-masalah yang mempunyai dampak luas bagi umat. Terkadang Nabi Muhammad saw. tidak selalu mengikuti nasihat para sahabat, beliau melakukan hal itu karena sering mendapat petunjuk dan wahyu dari Allah.

Salah satu peristiwa yang memberi bukti bahwa Nabi Muhammad saw selalu mengedepankan budaya musyawarah sebagai wujud beliau yang demkratis terhadap siapapun yakni Menjelang perang badar Nabi Muhammad saw. memutuskan posisi bagi beliau dan pasukan Islam yang pada saat itu berada di dekat mata air.

Kemudian seorang yang berasal dari kelompok Anshor, bernama Hubbab bin Mundhir datang kepada Nabi dan menanyakan apakah keputusan Nabi itu berdasarkan atas petunjuk dari Allah atau keputusan beliau sendiri dalam menghadapi strategi perang. Nabi menjawab bahwa keputusan itu semata-mata perhitungan beliau dan bukan atas petunjuk Allah. Kemudian Hubbab mengusulkan pendapat bahwa sebaiknya pasukan Islam menempati posisi lebih maju dekat mata air yang paling depan, sehingga pasukan Islam dapat mengisi kantong air mereka kalaupun nanti pasukan Islam harus terpaksa mundur. Baru kemudian mata air ditutup dengan pasir agar pasukan musuh tidak dapat memperoleh air. Atas saran itu Nabi menerima dan mengikuti apa yang diusulkan oleh Hubbab.[9]

Nabi Muhammad tidak merasa malu, bahkan menganjurkan supaya menerima pendapat dan saran (nasihat) dari orang yang pekerjaannya atau pendidikannya rendah sekalipun. Ini menunjukkan bahwa pada diri Nabi Muhammad saw. tidak ada sifat keangkuhan intelektual (intellectual shobism)[10] yang merasa paling pandai dan serba tahu yang menjadi ciri tipe pemimpin paternalistik.

3) Keteladanan (uswatun hasanah) dan amar makruf nahi munkar.

Muhammad dalam kedudukannya sebagai sang pendidik memiliki beberapa tugas spesifik dalam kaitannya dengan pendidikan. Al-Quran yang merupakan visualisasi dari tugas yang harus dijalankan Nabi memuat ayat-ayat yang menguatkan misi kependidikan dalam kepemimpinannya. Di kalangan muslim Muhammad dikenal dan diyakini sebagai Nabi dan Rasul terakhir (penutup); dengan demikian tugas Nabi Muhammad menyampaikan segala hal yang berkaitan dengan risalah terakhir di bidang akidah, ibadah dan muamalah, melalui proses pendidikan.

Al-Quran bagi Muhammad tidak sekedar kitab suci yang memberikan justifikasi kenabian terhadap dirinya, lebih dari itu al-Quran merupakan penjelasan tentang konsep pendidikan Tuhan bagi hambanya. (QS. An-Nahl: 44).

Internalisasi nilai-nilai edukatif al-Quran yang dilakukan oleh Nabi tidak saja lewat nasihat dan pengajaran lain, namun diri Muhammad sendiri menjadi contoh yang hidup bagi dasar-dasar kepemimpinan dalam pendidikan yang dikembangkannya. Nabi Muhammad saw. dalam rangka membawa manusia menjadi manusiawi Rasulullah dijadikan oleh Allah dalam peribadinya teladan yang baik. Sebagaimana bunyi firman Allah :

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [٣٣:٢١]

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah” (Q.S.al-Ahzab :21).[11]

Apa yang ada dalam lisannya sama dengan apa yang ada di dalam dadanya.[12] Sehingga apapun yang diajarkan oleh Muhammad segera diterima oleh para sahabat karena ucapannya telah diawali dengan contoh konkret, teladan yang baik dan selalu mengajak yang makruf mencegah yang munkar. Nabi Muhammad saw. Selalu menekankan pada umatnya untuk beramar makruf dan menjauhi hal yang mungkar, sehingga seruannya didengar dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh umatnya.





Sumber : http://www.tongkronganislami.net/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar